KesGiLut

Kesehatan Gigi dan Mulut Pengaruhi Kualitas Hidup Seseorang

 

Hakekat dan tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup individu, keluarga, atau masyarakat. Ketika berbicara mengenai kualitas hidup, tak ayal kita akan berhadapan dengan berbagai macam perspektif baik ekonomi, sosial, budaya, psikologi, maupun kesehatan. Bahkan, kualitas hidup juga akan sangat dipengaruhi oleh aspek kesehatan gigi dan mulut seseorang.

Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unpad ketika menjadi pembicara dalam Vivat Academia Seminar Oktober 2012, Kamis (4/10). (Foto: Tedi Yusup)

“Jika diukur, hubungan antara gigi berlubang (kesehatan gigi dan mulut) dengan kualitas hidup itu korelasinya sangat positif,” ujar Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unpad ketika menjadi pembicara dalam Vivat Academia Seminar Oktober 2012 dengan tema “Kesehatan” yang bertempat di Bale Sawala Gedung Rektorat Kampus Unpad Jatinangor, Kamis (04/10).

Lebih lanjut, Dr. Sri juga menjelaskan bahwa terminologi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut atau Oral Health Related Quality of Life (OHRQoL) adalah persepsi dari individu itu sendiri tentang kesehatan gigi dan mulut serta dampaknya terhadap pengalaman nyeri, fungsi sistem stomatognathic, serta bagaimana kesehatan gigi dan mulut tersebut mempengaruhi aspek psikososial berdasarkan konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya.

Dalam kesempatan tersebut, ia memaparkan hasil analisisnya tentang kesehatan gigi dan mulut serta hubungannya dengan kualitas hidup yang ia beri nama OHRQoL-23. Indeks tersebut sangat dekat dengan budaya dan nilai yang dianut masyarakat khususnya di Jawa Barat. Terdiri atas empat dimensi yaitu dimensi fungsi, dimensi nyeri, dimensi psikologis, dan dimensi sosial.

Dari keempat dimensi tersebut, berdasarkan hasil penelitiannya di lima kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2011, diketahui bahwa dimensi yang paling mengganggu kualitas hidup disebabkan oleh rasa nyeri, sedangkan dimensi psikologis berada di peringkat akhir dalam hal kualitas hidup seseorang. Namun, di kota-kota besar dimensi psikologis ini menjadi salah satu faktor yang sangat berperan untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya para remaja.

“Di kota besar justru alasan psikologis inilah yang biasanya menyebabkan anak remaja berbondong-bondong datang ke dokter gigi untuk memakai behel. Karena mereka ingin meningkatkan self esteem-nya,” jelasnya.

Indeks kualitas hidup juga dapat menjadi indikator sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk datang ke dokter gigi. Kembali berdasarkan hasil penelitiannya di Jawa Barat, didapat fakta bahwa 90,5% pasien yang datang ke dokter gigi mengalami lubang pada giginya. Dari 90% tersebut hanya 45% yang merasa gigi lubang itu mengganggu empat dimensi tadi. Lebih jauh lagi, hanya 3% dari jumlah tersebut yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengobati dirinya.

“Penggunaan kualitas hidup dalam kajian saya tidak hanya untuk mengukur sampai sejauh mana gigi lubang dengan kualitas hidup tetapi juga bisa digunakan untuk parameter tingkat kemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan,” tuturnya.

Berkenaan dengan peringatan hari kesehatan gigi dunia dan nasional yang jatuh pada tanggal 12 September 2012 lalu, Dr. Sri juga menyampaikan apresiasinya atas tema yang diangkat pemerintah di tahun ini. “Untuk Indonesia tema tahun ini adalah gigi dan mulut sehat untuk kualitas hidup yang lebih baik. Saya tidak menyangka akhirnya kajian saya menjadi interest Kemenkes tahun ini,” katanya.*

Laporan oleh: Indra Nugraha/mar

Tinggalkan komentar